Wartawan Dudi Surahman
JAKARTA. Tenaga perawat dan sumber daya masyarakat (SDM) kesehatan lainnya memiliki resiko tiga kali lipat lebih besar terinfeksi virus corona (Covid-19), termasuk di negara-negara yang pengendalian virus corona dengan baik sekalipun. Dalam menajalankan tugasnya, banyak perawat yang menghadapi berbagai kondisi yang menyulitkan dirinya.
Demikian hasil jurnal terbaru yang disampaikan Sekretaris Bidang Perlindungan Tenaga Kesehatan Satuan Tugas Penanganan Covid-19 dr. Mariya Mubarika dalam acara “Nursing Zoominar Episode 226” bertema “Perlindungan Perawat di Masa Pandemi Covid-19” yang diselenggarakan Perhimpunan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) pada Senin (8/3) siang.
Dalam zoominar yang dihadiri 1.530 perawat se-Indonesia, baik dari aplikasi Zoom dan live streaming YouTube, dr. Mariya mengungkapkan banyak laporan dokter menyampaikan keluhan perawat khawatir tertular Covid-19.
Banyak perawat yang tidak memiliki tempat khusus ketika pulang ke rumah. Ditambah lagi terdapat bayi di rumah dan orang tua dengan komorbid (penyakit penyerta). Dengan situasi dan kondisi tersebut berakibat perawat bekerja dengan mental dilema antara tuntutan keselamatan diri dan orang tua.
“Ini jadi imbalance kerja dan kehidupan yang sadar atau tidak ini pernah dialami semua. Keluarga terlantar dan kurangnya informasi akurat,” ujar dr. Mariya.
Ketua Bidang Advokasi Legislasi Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) ini dalam presentasinya mengajak tenaga perawat lebih cerdas dari virus.
Artinya, perawat harus bisa memahami dengan benar karakteristik virus agar dapat menghindar atau jangan sampai tertular dari virus corona ini dan jika terinfeksi sekalipun tidak sampai parah, cukup di Fase 1 yang tidak ada resiko kerusakan apa-apa pasca penyembuhan. Salah satunya dengan menjaga imunitas kesehatan tubuh tetap prima serta tetap menerapkan protokol kesehatan.
Namun permasalahan di Indonesia, terutama tenaga kesehatan, banyak yang tidak mengenali status kesehatan.
“Merasa diri kita tidak punya (penyakit) gula dan darah tinggi/hipertensi, misalnya. Begitu terinfeksi Covid-19 baru ketahuan. Makanya penting mengetahui status kesehatan kita. Jika terinfeksi langsung bisa teratasi dengan baik,” tambah dr. Mariya.
Dan, sambung dr. Mariya, “Sejauh data yang didapat saat ini bahwa imunitas yang dibentuk dari vaksin atau pasca infeksi sekalipun sangat individual. Sehingga meskipun sudah divaksin harus tetap menjalankan protokol kesehatan agar tidak terinfeksi,” papar dokter lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, ini.
dr. Mariya mengimbau perawat mengupayakan skrining komorbid. Alasannya orang dengan komorbid, seperti kolesterol tinggi dan diabetes dengan kadar gula tinggi, mudah terinfeksi. Kemudian, jika terinfeksi Covid-19, pasien komorbid cenderung mudah sekali ke fase kritis dan untuk menurunkan kolesterol itu tidak bisa dalam satu dua hari, tapi bisa mencapai mungkin sampai tiga bulan.
Begitu juga dengan penderita diabetes melitus, dr. Mariya menyarankan agar dilakukan pengecekan HB A1C. Penderita diabetes yang kadar gulanya stabil itu seperti orang biasa, tapi kalau gula darahnya tinggi dia memiliki tingkat risiko tinggi dan berpotensi masuk ruang ICU.
Satgas Covid-19 Bidang Perlindungan Tenaga Kesehatan, kata dr. Mariya, berencana melakukan advokasi juga ke Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) agar program skrining komorbid untuk tenaga kesehatan yang dilaksanakan di setiap daerah ditanggung pemerintah daerah masing-masing karena ini sangat penting.
“Bagi perawat yang memiliki komorbid jangan kecil hati. Asalkan terkontrol itu menjadi aman,” kata dr. Mariya.
Sebelum mengakhiri presentasinya dr. Mariya meminta perawat, terutama yang bertugas di ruang UGD, menandai pasien yang berasal dari tenaga kesehatan untuk segera mendapat penanganan cepat.
Semua tenaga kesehatan terinfeksi Covid-19 bisa menghubungi layanan bantuan Helpline 117 Ext. 3 untuk mendapatkan penanganan.
“Semua tenaga kesehatan harus selamat, jangan sampai masuk ke fase berat,” papar dr. Mariya Mubarika.
Ketua DPP PPNI Bidang Pelayanan Dr. Ati Suryamediawati, S.Kp, M.Kep membenarkan permasalahan yang banyak dihadapi perawat khususnya dalam menangani pasien terinfeksi Covid-19. Ia mengutip data rata-rata perawat memiliki angka beban kerja sebanyak 7-8. Artinya kemampuan beban adaptasi perawat untuk melayani pasien Covid-19 kemampuannya dua pasien sampai tiga pasien. “Mereka dari diri sendiri rendah kemampuan adaptasinya,” ujarnya.
Anggota Badan Pengawas Rumah Sakit Indonesia ini mengatakan perawat merupakan tenaga kesehatan terbanyak dan paling lama kontak dengan pasien. Perawat juga memiliki banyak peran dalam menangani pasien. Mulai dari berperan sebagai konektor, langsung atau tidak langsung ke pasien, komunikator antara keluarga dan perawat, kolaborator untuk mengambil keputusan bersama. Hingga sebagai advocator membantu klien yang bermasalah dengan keluarga dan stigma dari masyarakat sekitar.
“Perawat juga sebagai aplikator hingga menjelaskan ke masyarakat,” ungkap Dr. Ati.
Dosen Fakultas Keperawatan Universitas Padjajaran (Unpad) Bandung ini mengatakan kunci perlindungan perawat yakni melakukan tugas berdasarkan kode etik organisasi profesi, standard pelayanan, standard profesi, dan standard operasional prosedur (SOP).
“Kalau teman-teman perawat berpedoman pada ini bisa melindungi teman-teman perawat lainnya” jelas Dr. Ati Suryamediawati. (Sumber Satgas Covid-19)