Oleh Kombes Pol (P) Drs. H. Jhon Hendri, S.H., M.H.
Pelindung dan Editor Senior Bharindo
Mengupas Makna dan Pedoman Praktik I’tikaf (Bagian 1)
Definisi dari I’tikaf dapat diartikan sebagai tinggal di dalam masjid dengan niat i’tikaf. Menurut madzhab Imam Abu Hanifah jenis i’tikaf itu ada tiga yaitu i’tikaf wajib, i’tikaf sunah, dan i’tikaf nafil.
I’tikaf wajib yaitu i’tikaf yang disebabkan oleh nadzar, seperti perkataan seseorang, “Apabila pekerjaan saya terpenuhi, maka saya akan melaksanakan i’tikaf sekian hari.” Atau tanpa bergantung kapada penunaian suatu pekerjaan, misalnya, saya mewajibkan i’tikaf atas diri saya sendiri selama sekian hari. Maka ini hukumnya wajib. Dan wajib atasnya untuk menunaikan nadzarnya sebanyak hari yang telah dia niatkan.
I’tikaf sunah adalah i’tikaf selama sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan sebagaimana kebiasaan Rasulullah saw. yang rutin beri’tikaf di sepanjang hari tersebut.
Yang ketiga i’tikaf nafil yaitu i’tikaf yang tidak ditentukan waktu dan harinya. Kapan saja diinginkan bisa dilakukan. Sehingga walaupun seseorang berniat melakukan i’tikaf seumur hidupnya, hal itu diperbolehkan
Adapun mengenai paling sedikitnya masa i’tikaf, maka para ulama berbeda pendapat. Menurut pendapat Imam Abu Hanifah tidak boleh beri’tikaf kurang dari satu hari, namun menurut Imam Muhammad boleh beri’tikaf walaupun dalam masa yang singkat.
Dan pendapat inilah yang dijadikan sebagai fatwa. Oleh karena itulah dibenarkan bagi setiap orang setiap masuk ke dalam masjid agar berniat i’tikaf yaitu menurut kadar lamanya kesibukan dia dalam melaksanakan shalat dan ibadah-ibadah lainnya. Maka dia mendapatkan pahala i’tikaf itu.
Saya melihat orang tua saya sendiri selalu memperhatikan hal ini. Setiap kali beliau masuk masjid maka sambil melangkahkan kaki kanannya ke dalam masjid beliau berniat i’tikaf dan kadang kala ia mengeraskan suaranya ini dengan tujuan untuk mendidik para pelayannya.
Pahala i’tikaf sangat banyak, begitu juga keutamaan-keutamaannya sehingga Rasulullah saw. terus-menerus menjaganya. Perumpamaan orang yang sedang beri’tikaf seperti orang yang pergi ke suatu tempat yang tepat untuk memenuhi hajatnya dan tetap akan tinggal di sana sampai mendapatkan jaminan atasnya. Jika keadaannya seperti ini maka orang yang paling keras hatinya pun akan luluh dibuatnya.
Dan Allah Dzat yang Maha Pemurah akan memberikan ampunan bagi orang yang mendatanginya bahkan bagi orang yang tidak mendatanginya. Karena ketika seseorang sambil melepaskan hubungannya dengan dunia memohon di depan pintu rumah Allah maka tidak diragukan lagi tentang kepergiannya menuju anugerah Allah.
Dan seseorang yang diberi karunia oleh Allah, maka siapakah yang dapat menggambarkan kekayaannya yang sempurna, tiada seorang pun yang sanggup mengungkapkannya lebih jauh.
Imam Ibnul Qayyim berkata, “Maksud i’tikaf adalah menghubungkan ruh dan hati orang yang beri’tikaf itu dengan Dzat Allah SWT yang Maha Suci yaitu memutuskan seluruh hubungannya dengan selain Allah SWT, memusatkan perhatiannya hanya kepada Allah, dan mengalihkan kesibukannya dari selain Allah SWT kepada Dzat-Nya yang Maha Suci serta sambil memutuskan seluruh perhatian kepada selain Allah SWT.
Dengan demikian i’tikaf berarti menjadikan seluruh pikiran dan angan-angan semata-mata untuk mengingat-Nya dan menumbuhkan kecintaan kepadaNya sehingga tumbuhlah kecintaan yang mendalam kepada-Nya sebagai pengganti kecintaannya kepada makhluk.
Kecintaan seperti inilah yang akan bermanfaat di tengah keganasan kubur, yang pada hari itu tiada seorang pun dari yang kita cintai bisa memberi pertolongan selain Allah SWT. Apabila hati ini telah mencintai-Nya, maka betapa indah dan nikmatnya waktu yang akan berlalu bersama-Nya. (Bersambung)